Aksi unjuk rasa ojol pada Selasa, 20 Mei 2025, dilaksanakan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pihak aplikator yang diduga melanggar peraturan.
Senyum Achmad Sultoni terlihat lebar ketika dia melihat penumpang yang sudah memesan ojek melalui aplikasinya dari jauh. Sebelum dia memberikan helm, dia memeriksa kembali apakah identitas penumpang dan nama pemesan itu sama.
Sejak wabah Covid-19 melanda, Achmad telah bekerja sebagai pengemudi ojek online. Dengan usianya yang lebih dari 40 tahun dan tanpa keahlian khusus, dia menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan. Oleh karena itu, kini dia mencari nafkah menjadi pengemudi ojol.
Achmad mengungkapkan bahwa dia tidak bergabung dalam aksi unjuk rasa ojol pada 20 Mei 2025, yang bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Dia mengaku khawatir aksi tersebut bisa berujung pada kerusuhan. Meski begitu, dia menegaskan mendukung perjuangan rekan-rekan sopir lainnya.
Aksi unjuk rasa ojol pada Selasa, 20 Mei 2025, dilaksanakan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pihak aplikator yang diduga melanggar peraturan.
Peraturan yang dimaksud adalah Kepmenhub KP Nomor 1001 Tahun 2022, yang mengatur bahwa potongan maksimal oleh aplikasi seharusnya tidak lebih dari 20 persen, namun aplikator diduga telah melakukan potongan hingga 50 persen. Ini adalah keluhan yang juga disampaikan oleh Achmad.
“Misalnya, kalau kami dapat orderan penumpang dan tarifnya Rp10 ribu, maka potongan aplikator bisa Rp2 ribu lebih. Itu bisa dibilang kami enggak dapat apa-apa,” kata Achmad, Senin (19/5/2025) di Jakarta.
Hal lain yang dikeluhkan Achmad adalah paket kerja yang diterbitkan aplikator, contohnya ada paket bernama paket goceng. Achmad menjelaskan ini adalah paket kerja yang memungkinkan driver mendapatkan order dengan jarak tempuh sekitar 3 kilometer dan intensitas penerimaan order cukup tinggi. Namun, namanya juga paket goceng sehingga argonya hanya Rp5 ribu.
“Saya pernah coba paket goceng ini, dari jam 9 pagi sampai jam 1 siang, dapat 8 orderan penumpang. Keuntungan yang saya dapat Rp40 ribu, tapi itu belum dipotong biaya bensin. Lantaran order yang masuk tak berhenti-henti, badan jadi cape banget,” kata Achmad, yang sekarang tak mau lagi ambil paket goceng dan memilih bekerja dengan paket regular.
Achmad mendukung aspirasi rekan-rekan sejawatnya bahwa potongan biaya aplikator jangan lebih dari 10 persen. Sebab mereka yang mengambil pekerjaan sebagai ojol, baik itu sebagai kerja sampingan atau permanen, adalah orang-orang yang belum berkecukupan secara secara ekonomi. Dengan begitu, dia berharap pemerintah turun tangan.
“Mayoritas yang bekerja di ojol itu tak punya keahlian dan terbentur faktor usia untuk melamar pekerjaan di perusahaan. Saya dari pada nganggur, jadi saya jalani pekerjaan ini,” ujar Achmad.
Dia menceritakan ada Facebook group tempat para ojol mencurahkan keluh kesahnya. Di sana, dia membaca cerita beberapa ojol yang mengeluh langsung pada penumpang soal besarnya potongan aplikator yang ditanggung mereka dengan harapan mendapat belas kasih dari penumpang sehingga diberikan uang tip.
“Tapi saya enggak mau seperti itu (memelas pada penumpang). Saya kerja dengan baik saja, biar akun aplikasi saya tetap gajor (lancar),” kata Achmad.
Ide Times adalah Portal Media Online yang menyajikan Berita Terkini dan Terbaru seputar Informasi, News Update, Politik, Ekonomi, Humaniora dan Gaya Hidup.